jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa, masih banyak pertanyaan terkait dengan tanah dengan status masih Girik, Kikitir, Leter “C”, Petok dan dengan istilah lain.
Terkait pertanyaan ini,alasan kenapa PPAT tidak diperbolehkan membuat Akta yang hanya didasarkan Girik, Leter C, Petuk atau Kikitir “SAJA”, tanpa disertai alat bukti lainnya, lalu Bagaimana kedudukan Girik, Leter C, Petuk atau Kikitir dalam hubungannya dengan Pembuktian Hak Atas Tanah.
1.Putusan MARI Nomor 663 K/Sip/1970 tanggal 22 Maret 1972 yang kaidah hukumnya menyatakan : Kikitir tanah bukan merupakan surat bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya merupakan bukti tanda pajak tanah, dan bukan menjamin bahwa orang yang namanya tercantum dalam Kikitir tanah tersebut adalah juga pemilik tanah. Untuk dapat dinyatakan sebagai pemilik tanah, diperlukan adanya bukti-bukti lainnya.
2.Putusan MARI Nomor 624 K/Sip/1970 tanggal 24 Maret 1971 yang kaidah hukumnya menyatakan : Nama seseorang yang tercatat dalam buku Leter C tidak merupakan bukti mutlak bahwa ia adalah orang yang berhak/pemilik tanah yang bersangkutan. Leter C hanya merupakan bukti awal (permulaan) yang masih harus ditambah dengan bukti-bukti lainnya.
Oleh karena itu harus dilengkapi dengan :
1.Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997.
2.Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Bahwa sebelum lahirnya UUPA, secara yuridis formal, girik benar-benar diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi sekali lagi bahwa setelah berlakunya UUPA girik tidak berlaku lagi.
Hal ini juga dipertegas dengan Putusan Mahkamah Agung RI. No. 34/K/Sip/1960, tanggal 19 Februari 1960 yang menyatakan bahwa surat petuk/girik (bukti penerimaan PBB) bukan tanda bukti hak atas tanah.
Demikian juga dalam hal pendaftaran tanah untuk pertama kali (pembuatan sertipikat), pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 dan 25 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan, bahwa pembuktian hak lama yang berasal dari konversi hak lama dibuktikan dengan alat bukti tertulis dan keterangan saksi dan/atau pernyataan pemohon yang kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar oleh Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran sporadis.
Penilaian tersebut didapat atas dasar pengumpulan data Investigasi Team S3 PPNT dilapangan serta data yuridis mengenai bidang tanah bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.
Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan, hak atas tanah yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada sengketa, dilakukan pembukuan dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak atas tanah. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya (Pasal 1 angka (7) PP 24 Tahun 1997.
Konversi dari tanah-tanah Hak Adat tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor Sk.26/DDA/1970 yang menegaskan bahwa tidak ada ketentuan pembatasan jangka waktu konversinya, hingga saat ini masih tetap diakui dan dihargai serta dapat diproses konversinya.(LAG76).
Sumber: DPP-Peduli Nusantara Tunggal Jakarta