jurnalisnusantarasatu.id|Bantaeng–Diberitakan beberapa waktu lalu di media ini bahwa Erwin Saputra, seorang warga di Jalan Bhakti/kayangan, Bissappu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan hingga kini masih mendekam di Polres Bantaeng usai menjitak seorang anak yang membuat suara bising dengan menggunakan knalpot racing di depan rumahnya.
Saat dikonfirmasi via pesan elektronik saat itu, Kasat Reskrim Polres Bantaeng, AKP Rudi tidak menampik jika pelapor maupun terlapor ada upaya damai akan di mediasi.
“Tapi kalau kedua belah pihak mau berdamai, kami akan fasilitasi sepanjang korban tidak keberatan lagi”, tulis pesan Kasat Reskrim Polres Bantaeng (13/7/2023) lalu.
AKP Rudi juga membenarkan bahwa Erwin telah dilapor orang yang mengaku korban dari perbuatannya.
“Kami dari kepolisian bekerja berdasarkan laporan kejadian yang ada, yang dilaporkan korban. Kalau terbukti tentu akan diproses sesuai aturan”, lanjut Kasat Reskim.
Informasi di himpun, Kelurahan Bonto Rita telah menerbitkan surat kesepakatan damai antara pelapor dan terlapor sejak tanggal, 08 Juli 2023, namun belakangan diketahui kasus Erwin Saputra telah dilimpahkan ke Kejaksaam Negeri Bantaeng.
Kapolres Bantaeng, AKBP Andi Kumara, SH.,SIK.,M.SI membenarkan bahwa kasus Erwin Saputra telah dilimpahkan ke Kejari Bantaeng.
“Berkas sudah dikirim ke kejaksaan, silahkan berkoordinasi dengan penyidik dan kejaksaan”, pesan Kapolres kepada fpiicyber.com ,Senin (7/8/2023).
Menurut pengakuan istri Erwin Saputra, apa yang telah dilakukan suaminya karena sebelumnya pernah trauma karena anaknya yang mesih kecil pernah kerap kejang-kejang ketika ada suara bising saat malam hari.
“Suamiku ditahan di Polres karena Kandatto (jitak) itu anak. Dia lakukan itu untuk bela anakku yang masih kecil. Sudahmi juga di tegur berapa kali, jadi menurutku wajar di beri teguran. Tapi tidak disangka sampai berurusan polisi”, ucapnya beberapa waktu lalu.
Kini keluarga Erwin mengaku pasrah atas surat damai yang telah di buat, dan berharap ada kebijakan yang diberikan oleh Kejaksaan Negeri Bantaeng bisa melakukan restoratif justice agar tulang punggung keluarga bisa kembali mencari nafkah.
Disadur dari situs Kompolnas dengan judul “Keadilan Restoratif ala Polri: Saat Pemidanaan Jadi Nomor Dua”, disebutkan bahwa Penyidik Polri di berbagai daerah mulai rutin menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) dalam menyelesaikan perkara. Sejak surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021 terbit
Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan saat itu bahwa mayoritas perkara yang diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif ada di tingkat polda.
Salah satu acuan pendekatan keadilan restoratif ialah SE Kapolri Nomor 8/VII/2018. Dijelaskan dalam SE itu, pendekatan restorative justice digunakan jika perkara memenuhi syarat materiil dan syarat formil.
Syarat-syarat formil yang mesti terpenuhi, semisal perkara tersebut tidak menimbulkan keresahan dan tidak ada penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, serta tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat.
Perkara pidana yang bisa ditangani dengan pendekatan restorative justice apabila surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum diserahkan ke kejaksaan.
“Tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan cara itu, tetap harus ada kesepakatan kedua belah pihak,” kata Ramadhan.
Adapun yang termasuk syarat formil, semisal ada surat perdamaian (akte dading) dari kedua belah pihak, yakni pelapor dan terlapor, ada rekomendasi gelar perkara yang menyetujui penggunaan pendekatan keadilan restoratif, serta pelaku tidak keberatan atas tanggung jawab dan ganti rugi.
Dari hukumonline.com mengabarkan (14/3/2023) bahwa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana, mengatakan saat ini kerja Kejaksaan dalam menanganani perkara hukum tak melulu secara legal formil.
Kejaksaan harus melihat perkara pidana secara utuh dan dalam penanganannya agar tidak menimbulkan kegoncangan di masyarakat. Upaya lain yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadirkan keadilan yakni melalui restorative justice.
“Dalam proses penegakan hukum kami juga berupaya mewujudkan keadilan substantif. Karena keadilan sejati adalah yang dapat memberi manfaat bagi masyarakat,” katanya dalam kuliah umum bertema “Reformasi Hukum Pidana Nasional: Penegakan Keadilan dan Hukum dalam Peradilan,” Senin (13/03/2023).
Semangat keadilan restoratif, menurut Fadil bukan lagi pemenjaraan, tapi pemulihan perkara pidana. Tapi begitu, penerapan keadilan restoratif oleh Kejaksaan tak serampangan dalam penanganan perkara. Sebab keadilan restoratif di Kejaksaan mengacu pada Peraturan Kejaksaan Agung (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Setidaknya itu beleid ada 5 asas keadilan restoratif yakni keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Untuk diketahui, Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa. Terkadang melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. (Abdul Kahar/Albar)