Beranda » Penegakan Hukum dan Pencegahan Tindak Kejahatan dalam Ilmu Ekonomi

Penegakan Hukum dan Pencegahan Tindak Kejahatan dalam Ilmu Ekonomi

jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara (DPP-PPNT) berpendapat bahwa, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, aktivitas ekonomi berkembang semakin pesat, baik dari sisi ragam maupun intensitasnya. Meski di negara maju sekalipun, komputer baru dinikmati rumah tangga di tahun 1970-an, dan internet dalam bentuknya yang paling sederhana digunakan di universitas-universitas di tahun 1980-an.

Meski demikian, saat ini, baik di negara maju maupun berkembang, komputer dan internet sudah merupakan barang kebutuhan yang sulit dinafikkan keberadaannya.

Keberadaan internet membawa kemudahan orang untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Namun tidak disanggah bahwa lewat internet pula kejahatan seksual terhadap anak-anak, plagiarisme, bullying, penipuan via email hingga pencucian uang justru semakin mudah dilakukan.

Hal serupa terjadi pada keberadaan telepon genggam. Disatu sisi, telepon genggam mempermudah komunikasi, di sisi lain, HP sering digunakan untuk praktik penipuan, dan praktik gendam.

Tentu saja jika kita hidup 20-30 tahun lalu, kita tidak akan pernah berfikir munculnya berbagai aktivitas kejahatan tersebut yang memanfaatkan kemajuan teknologi informatika tersebut.

contoh di atas menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh langsung terhadap ragam dan intensitas kegiatan ekonomi baru.
Namun demikian, kecepatan munculnya jenis aktivitas ekonomi baru ini sering kali kurang diimbangi oleh upaya pengaturan pemerintah untuk meminimasi potensi kejahatan yang mungkin timbul.

Fenomena ini tentunya bukanlah hal yang mengherankan, karena diperlukan waktu bagi pemerintah untuk mengkaji dampak buruk dari penyalahgunaan perkembangan teknologi.

Terlepas dari perkembangan teknologi, kejahatan-kejahatan yang bersifat konvensional tetap terjadi di masyarakat.

Pencurian, perampokan, penyelundupan dan penggunaan narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan, me-rupakan hal yang sering kita baca atau dengar beritanya di berbagai media massa.

Di saat yang bersamaan muncul berbagai inovasi di bidang kejahatan, misalnya fenomena adanya makelar pajak maupun makelar kasus/hukum.

Perkembangan demokrasi di Indonesia yang kurang diikuti dengan praktik good governance, ter-nyata justru menyuburkan makelar anggaran.

Beberapa inovasi kejahatan yang terakhir tumbuh subur di Indonesia dan belum tentu dapat ditemui di negara lain, meski di negara berkembang lain seperti India, misalnya.

Makelar kasus atau yang popular disebut Markus, ternyata tidak ditemui di India, meski tingkat korupsi di negara tersebut tidak bisa dibilang rendah.

Berbagai fenomena yang terjadi di ranah hukum, seringkali memiliki dampak ekonomi yang tidak kecil.

Kerugian ekonomi eksplisit akibat tindak pidana korupsi yang telah mendapat putusan Mahkamah Agung (MA) dari tahun 2001-2009 sebesar Rp73,07 triliun (harga tahun 2008).

Meski demikian, total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan kepada para koruptor adalah Rp5,32 triliun, sehingga implikasinya kerugian akibat korupsi yang tidak ditanggung koruptor adalah senilai Rp67,75 triliun yang menjadi tanggung jawab wajib pajak dalam pembayarannya (Pradiptyo, 2009; 2010).
Setiap tindak kejahatan selalu memiliki implikasi ekonomi.

Hal serupa juga terjadi di ranah hukum perdata.

Kasus Termasuk menunjukkan bahwa meski penurunan surplus konsumen akibat praktik bisnis Termasuk mencapai Rp14 triliun.
Namun, Termasuk hanya dijatuhi denda Rp.25 miliar saja.

Di Indonesia, jenis hukuman yang diterapkan terhadap narapidana cenderung masih konvensional.

Hukuman penjara, denda, pembayaran uang pengganti, adalah beberapa contoh jenis hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana.

Namun demikian belum ada studi di Indonesia dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hukuman-hukuman tersebut efektif menurunkan tindak pidana maupun membuat jera pelaku kejahatan.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa fenomena hukum tidak bisa dipisahkan dari aspek ekonomi.

Ekonomika Kriminalitas atau Crime Economics atau Law and Economics adalah cabang ilmu ekonomika yang menitikberatkan analisis ekonomika pada bidang hukum dan regulasi.

Cakupan pembahasan di Ekonomika Kriminalitas tidak saja terbatas pada tindak pidana yang terkait langsung dengan aspek ekonomi (misalnya korupsi, pencucian uang, fraud, dll), namun juga berbagai tindak kejahatan konvensional lain (misalnya  pencurian, pembunuhan, perkosaan dll) dan kejahatan terorganisasi (misalnya perdagangan narkoba, terorisme, perdagangan manusia, prostitusi anak-anak, dll).

Ekonomika kriminalitas adalah cabang ilmu ekonomi yang relatif baru di Indonesia dan belum banyak mendapatkan perhatian, baik dari para ekonom maupun juga para ahli dan praktisi hukum.

Berbagai proses dan keputusan hukum di Indonesia hanya mempertimbangkan aspek hukum semata dan belum mempertimbangkan aspek ekonomi.

Lebih jauh lagi, di Indonesia, penyusunan mekanisme pengawasan, pemberian sanksi hukum, sistem insentif maupun penyusunan pembentukan lembaga baru yang dituangkan dalam undang-undang, seringkali lebih berat mempertimbangkan aspek hukum dibandingkan aspek ekonomi.

Sanksi hukum di Indonesia seringkali tidak menciptakan efek jera kepada para pelaku kejahatan.

Di UU Tipikor disebutkan bahwa maksimum denda kepada koruptor adalah Rp1 miliar, berapapun nilai uang yang berhasil dikorupsi oleh koruptor tersebut.

Penetapan hukuman maksimal di dalam undang-undang mungkin rasional ditinjau dari Ilmu Hukum, meski dari perspektif Ilmu Ekonomi, khususnya di Game Theory dan Behavioural Economics, hal tersebut justru cenderung mendorong pelaku kejahatan ataupun calon pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan.

Implikasi dari penetapan hukuman maksimal di dalam UU yang cenderung rendah bagi koruptor, menyebabkan munculnya mekanisme subsidi rakyat kepada para koruptor! Seperti dijelaskan di awal, bahwa nilai kerugian negara yang harus ditanggung oleh pembayar pajak adalah Rp67,75 triliun.

Implikasi dari penetapan hukuman maksimal di dalam UU yang cenderung rendah bagi koruptor, menyebabkan munculnya mekanisme subsidi rakyat kepada para koruptor Seperti dijelaskan di awal, bahwa nilai kerugian negara yang harus ditanggung oleh pembayar pajak adalah Rp67,75 triliun.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa negara, melalui UU Tipikor, justru menciptakan sistem subsidi dari rakyat kepada para koruptor.

Permasalahan menjadi semakin ironis, ketika karakteristik koruptor umumnya adalah tingkat pendidikan tinggi, berkedudukan tinggi di masyarakat dan seringkali memiliki kekayaan di atas rata-rata.

Jika subsidi dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang kurang mampu disebut derma atau sedekah, mungkin perlu diciptakan satu kosakata baru untuk mengakomodasi fenomena orang miskin mensubsidi koruptor yang notabene orang kaya.

Permasalahan serupa terjadi pula di ranah hukum perdata.

Kasus Termasuk adalah bukti yang menunjukkan lemahnya hukum di Indonesia akibat penetapan sangsi yang tidak mempertimbangkan aspek rasionalitas pelaku pelanggar ketentuan.

Sejauh ini, upaya penanggulangan kejahatan di Indonesia masih belum terfokus pada upaya mencegah tindak kejahatan.

Tawuran pelajar adalah fenomena yang sejak tahun 1980-an sering kita dengar terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya Jakarta hingga kini.

Meski demikian, upaya sistematis untuk meredam tawuran pelajar belumlah optimum.
Hal yang sama juga terjadi  dengan  penanggulangan bullying di sekolah-sekolah.

Studi yang dilakukan oleh Bowles dan Pradiptyo (2004) menunjukkan bahwa anak pelaku bullying umumnya pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya (entah itu di rumah maupun di sekolah serta lingkungan hidupnya).

Problem menjadi serius, ketika ternyata baik pelaku maupun korban bullying memiliki kecenderungan tinggi me-lakukan tindak kejahatan di masa datang.

Saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi kita untuk mengembangkan Ekonomika Kriminalitas di Indonesia.

Di saat negara kita banyak menghadapi permasalahan korupsi, penyelundupan narkoba, praktik pencucian uang dan juga terorisme, adalah saat yang tepat bagi para ahli dibidang hukum, ekonomi, ilmu sosial dan budaya untuk bertukar pikiran menanggulangi masalah tersebut bersama.

Adalah bukan waktunya lagi untuk menjunjung egosentris cabang keilmuan karena hal inilah yang menyebabkan para ahli terkotak-kotak dan tidak mampu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi bersama.(76)

Sumber: DPP Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *