jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA-Konflik mengenai penguasaan tanah adalah hal yang tak diinginkan terjadi, apalagi jika berkaitan dengan tanah warisan keluarga.
Selain menyita energi dan waktu, konflik tersebut juga bisa menjadi citra buruk sebuah keluarga di mata orang lain.
Dalam konteks ini, penguasaan yang dimaksud adalah tanah yang sebenarnya harus turun ke ahli waris, seperti dari ayah ke anak kandung, tapi malah dikuasai pihak lain, misalnya oleh orang bukan anggota keluarga inti, seperti anak dari adik sang ayah.
Jika klaim sepihak itu dilakukan oleh yang bukan ahli waris, tentu ahli waris wajib menempuh cara agar tanah kembali jatuh ke penguasaan pihak yang sah.
Maka,kita sebagai ahli waris wajib mengetahui mengenai cara mengurus sertifikat tanah yang dikuasai orang lain. Agar bisa mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik ketika di kemudian hari memberikan wasiat untuk ahli waris.
Pastikan Terlebih Dahulu Apakah Ada Akta Hibah atau Tidak.
Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah mencari tahu dulu apakah ada akta hibah wasiat atau tidak.
Perlu diketahui, akta hibah merupakan dokumen yang memiliki kekuatan hukum atas pemberian barang atau tanah kepada orang lain.
Umumnya, pihak yang menerima adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, orang pribadi yang tidak mampu, atau badan yang bergerak dalam pelayanan kepentingan umum yang tidak mencari keuntungan.
Jika ada, akta hibah yang berisi pemberian wasiat itu bisa dijadikan dasar hukum yang kuat untuk mengambil kembali tanah yang dikuasai orang lain.
Akta hibah tersebut bisa juga menjadi landasan apabila sertifikat tanahnya akan dipecah, bila yang dihibahkan tidak seluruh bagian tanah.
Ketahui Mengenai Empat Golongan Ahli Waris.
Lantas, apabila wasiat dari pemilik tanah hanya berupa perkataan lisan dan tidak ada akta hibah, apa yang harus dilakukan.
Jika kondisinya seperti itu, harus berpedoman pada golongan ahli waris menurut KUH Perdata dan prinsip pewarisan menurut KUH perdata atau hukum Islam (jika kita dan keluarga beragama Islam).
Berdasarkan Pasal 832 jo. Pasal 852, dan Pasal 852a KUHPer, yang berhak atas tanah itu adalah anak-anak kandung serta ibu jika masih hidup.
Hal tersebut berlaku dengan asumsi, sertifikat tanahnya adalah atas nama pemberi waris, misalnya atas nama ayah kandung.
Cara Mengambil Sertifikatnya.
Apabila memiliki dasar hukum yang kuat, kita bisa mencoba membicarakan terlebih dahulu kepada pihak yang bukan ahli waris yang menguasai tanahnya.
Namun, apabila cara itu tidak berhasil, kita bisa menempuh jalur hukum, yakni menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke polisi dengan tuduhan penggelapan.
Perlu diketahui, perbuatan melawan hukum terjadi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum pada umumnya.
Kita bisa mengajukan gugatan perdata tanpa laporan tindak pidana dengan meminta bantuan kantor pertanahan setempat, untuk mengetahui data identitas tanah dan membawa bukti sertifikat tanah, untuk kemudian dijadikan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan.
Sementara itu, dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dijelaskan bahwa penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah.
Pelaporan ini bisa dilakukan seandainya kita sebagai ahli waris pernah meminta sertifikat, namun pihak yang tengah menguasainya tidak memberikannya kepada kita. (LAG76)
Sumber: Adv.Arthur Noija, SH
Gerai Hukum ART & Rekan Jakarta