Beranda ยป Nuansa Colonial Building Style, Sejarah Hotel Merdeka Kediri

Nuansa Colonial Building Style, Sejarah Hotel Merdeka Kediri

jurnalisnisantarasatu.id|KEDIRI–Hotel Merdeka merupakan salah satu warisan hidup Kota Kediri yang berdiri sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut sejumlah literatur yang ada, sebelum berganti nama menjadi Hotel Merdeka, hotel ini dahulunya bernama Hotel Rich.

Diperkirakan hotel tersebut didirikan pada tahun 1933 , oleh sepasang suami-istri keturunan Belanda.Pada tahun 1928 , Kota Kediri menjadi Kota Swapraja dengan otonomi penuh dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Seiring perkembangan Kediri pada masa itu., dengan berbagai industri yang muncul pada masa kolonial, Kediri erat kaitannya dengan perkembangan industri pertanian, perkebunan dan juga gula.

Hal ini memberikan dampak positif pada Hotel Rich saat itu karena menjadi hotel yang diminati oleh para tamu yang hendak mengunjungi Kediri untuk urusan dagang dalam bidang perkebunan maupun pabrik gula.

Hotel Rich juga dikabari menjadi tempat untuk menawan bala tentara Jepang di Kediri. Selain itu, hotel ini dikabarkan pernah menjadi tempat menginap Paul Mussotte atau Musso, yang merupakan putra kelahiran Wates-Kediri saat kembali ke Tanah Air pada 11 Agustus 1948.

Seiring berjalannya waktu, Hotel Rich sempat dipegang oleh Pemerintah sampai akhirnya berpindah ke Management PT.Natour semenjak tahun 1998 hingga sekarang hotel ini di beli oleh PT.Gudang Garam dan berganti nama menjadi Hotel Merdeka serta pengelolaannya diserahkan kepada anak perusahaan dibawah naungan PT.Surya Raya Indah.

Hotel Merdeka mulai beroperasional pada tahun 1980 . Hotel ini terus meningkatkan kualitas dalam memberikan pelayanan kepada tamu, dengan menampilkan citra sebagai hotel berniansa Heritage. Hingga pada 19 September 2008 Hotel ini mengalami kebakaran yang berdampak pada bangunannya yakni khususnya pada area lobby dan Skydisc.

Dalam proses pembenahannya management tetap mengupayakan pemulihan dengan melakukan renovasi bangunan seperti menyerupai bentuk aslinya. Renovasi yang dilakukan memerlukan waktu hingga satu tahun lamanya dan kembali beroperasi pada 2009

Cerita yang tidak kalah menarik, diyakini pada malam tertentu kita bisa mendengarkan suara-suara orang sedang melakukan transaksi layaknya dipasar, mengingat hotel ini dahulunya merupakan hotel yang diminati pada masa kolonial oleh para pedagang tebu dan kopi untuk bermalam.

Menurut keterangan beberapa orang suara-suara tersebut merupakan kegiatan para saudagar yang sedang melakukan dagang pada masa kayanya dan cerita ini masih diyakini hingga sekarang.

Sebagai warisan budaya yang ada di Kota Kediri, Hotel Merdeka memiliki ciri khas gaya bangunannya dengan bernuansa classic retro yang dibalut nuansa colonial building style.

Dimasa kolonial sebagai pemilik Mevrouw Catrine suaminya dahulu tinggal dihotel ini diwaktu cukup lama hingga beliau tutup usia.

Dimasa hidupnya Mevrouw Catrine sangat menyukai kopi, setiap pagi beliau selalu menyantap sarapannya ditemani secangkir kopi., hal ini tampaknya menjadi kebiasaan yang melekat dengan sosok beliau sampai akhir hayatnya.

Salah satu cerita yang diyakini, beberapa saksi mata pernah melihat sosok permpuan ini menyesap sisa-sisa kopi yang ada di hotel.

Untuk mengenang sejarah unik tersebut, Management Hotel Merdeka membuat karya seni Patung Mevrouw Catrine yang diletakkan di bukit taman area tengah Hotel.

Management Hotel membangun pelinggih yang juga disebut Sasono Inggil, sebagai tempat menarug seserahan, yang dipercaya pada lokasi itulah tempat favorit mendiang Catrine menyesap kopinya di pagi hari sambil menikmati keindahan kolam ikan yang dibuat oleh suami tercintanya.

“Usai kunjungan kerja ke Lapas Kelas II Kediri pada Jumat, (12/7/2024) saya bersama Ketua Presidium Forum Persatuan Independent Indonesia (FPII) Dra.Kasihhati menginap di Hotel Merdeka dan kami sangat kerasan dengan nuansa Colonial Building Style.” kata Founder Sabda Saya Nusantara Lilik Adi Gunawan, S.Ag saat dikonfirmasi awak media pada Minggu,(14/7/2024).

“Saya sangat terkesan dengan Sasono Inggil serta pelinggih dan pohon beringin dengan ditutup kain motif hitam putih kotak serasa kami berasa di Bali, yang tentunya pohon tersebut sudah berusia tua.” ungkapnya.

” Suara gemercik air terjun dari Pohon Beringin sangat membuat hati damai dan tentram serasa tinggal dirumah sendiri.” ujar Lilik.

” Bahkan seharusnya kami checkout hari Sabtu, isteri saya kembali memperpanjang hingga minggu dan senin kami kembali terbang ke Jakarta.” Pungkas pria kelahiran Ambarawa Dewan Pengawas Dewan Pers Independen (DPI) . (LAG76).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *