jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Pemilu 2024 telah selesai dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 20 Maret lalu sudah mengumumkan hasil dari Pemilu.
Berdasarkan pengumuman KPU itu, banyak pihak yang merasa di rugikan saat ini sehingga akan melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana yang telah menyita perhatian publik, kubu Anies-Muhaimin (AMIN) Paslon 01 dan kubu Ganjar-Mahfud (GAMA) Paslon 03 telah melayangkan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Lewat tulisan ini, penulis mencoba untuk menganalisis potensi beberapa hakim konstitusi yang akan memeriksa dan mengadili sengketa pilpres 2024.
Apakah Hakim MK memenuhi syarat untuk mengadili sengketa Pilpres di tahun 2024?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa mahkamah konstitusi memeriksa, mengadili dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dilaksanakan dengan 9 (Sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) hakim konstitusi yang di pimpin oleh ketua mahkamah konstitusi.
Hal ini perlu kita perhatikan apakah dari 9 hakim ini sudah layak untuk mengadili sengketa pilpres di tahun 2024.
1. Anwar Usman
Terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik menurut putusan MKMK Nomor : 2/MKMK/L/2023. Dengan putusan itu, Anwar Usman sudah tidak layak secara etik untuk mengadili sengketa pilpres.
Apalagi, yang menjadi pihak lawan gugatan para pemohon yaitu pasangan Prabowo-Gibran mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Anwar Usman. Tentu, hal tersebut di khawatirkan akan berpengaruh kuat dalam keberpihakannya terhadap putusan sengketa yang akan di dalilkan.
2. M. Guntur Hamzah
Guntur Hamzah merupakan salah satu majelis hakim yang pernah mempunyai catatan negatif sejak tahun 2023 lalu melalui skandal putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
Prosedur pengangkatannya juga dianggap Inkonstitusional sampai melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No. 01/MKMK/T/02/2023.
Selain itu, Guntur juga lima hari yang lalu dilaporkan ke MKMK karena diduga terlibat dalam skandal putusan MK No. 90/PUU-XX/2023 untuk meloloskan Gibran menjadi Calon Wakil Presiden.
Oleh karena itu, Guntur masih menjadi sorotan publik karena dianggap integritas dan independensinya dapat di intervensi oleh beberapa kelompok yang berkepentingan dalam perkara sengketa pilpres.
3. Asrul Sani
Asrul Sani adalah hakim yang di usung oleh DPR, ia juga mantan Sekretaris Jendral dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan bagian dari koalisi yang mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres 2024.
Berdasarkan tarikan track record tersebut, independensi Asrul Sani menjadi salah satu hakim konstitusi di khawatirkan akan membuat suatu keberpihakan terhadap salah satu pihak karena mempunyai ikatan politis yang sudah terbangun.
Sedangkan, jika kita tinjau dalam Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan posisi seorang hakim tidak boleh mempunyai kepentingan dengan perkara yang akan di periksa.
Adapun bunyi norma dari pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman itu adalah sebagai berikut :
Pasal 17 ayat (5) :
“Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”
Pasal 17 ayat (6) :
“Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 17 ayat (7) :
“Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.”
Berdasarkan dari beberapa pasal UU Kekuasaan Kehakiman itu, Mahkamah Konstitusi berpotensi hanya bisa menerima permohonan dan tidak bisa memeriksa dan mengadili dalam persidangan sengketa pilpres yang akan dilaksanakan.
Adapun, jika sengketa pilpres itu tetap ingin dijalankan, maka berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman perkara sengketa itu harus diperiksa ulang dengan susunan majelis hakim yang berbeda dan benar-benar tidak mempunyai hubungan kepentingan dengan perkara sengketa.
Penulis : M. Fadlul Rahman
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Pamulang