jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa,Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal menekankan pewarisan harta seturut garis keturunan ibu.
Harta yang diwariskan adalah harta pusaka tinggi yang bisa berupa tanah, sawah, ladang, rumah, dan lain sebagainya. Berbeda dengan harta pusaka rendah yang boleh diperjualbelikan sebab hanya dimiliki oleh sekelompok keluarga tertentu sehingga jelas proses pewarisan dan asal-usulnya, harta pusaka tinggi justru sebaliknya, tidak untuk diperjualbelikan. Hak atas harta pusaka tinggi hanya sebatas pengunaan dan pengelolaan.
Hak itu pun mesti diwariskan secara turun temurun, dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya.
Karena model pewarisan seperti ini, maka asal-usul harta pusaka tinggi pun menjadi kabur.
Di beberapa daerah di Sumatra Barat, harta pusaka tinggi juga disebut harta tua, karena umur harta ini sudah begitu tua.
Kekaburan asal usul harta pusaka tinggi bisa disebabkan beberapa hal, antara lain :
1.Karena jarak waktu yang begitu jauh antara pewaris terdahulu dengan pewaris sekarang.
2.Karena harta pusaka tinggi sudah bercampur baur dengan harta-harta lain yang datang kemudian.
Karena dua sebab ini, harta pusaka tinggi dicirikan sebagai harta yang sulit diketahui asul-usul kaum pemiliknya; serta harta yang nyaris tidak dapat dialihkan ke pewaris berikutnya (mengingat sudah bercampur dengan harta-harta lain).
Pengalihan harta pusaka tinggi menjadi mungkin jika didahului kesepakatan bersama.
Ciri harta pusaka tinggi mirip dengan tanah ulayat.
Bedanya, jika harta pusaka tinggi sudah dikelola alias sudah digarap, maka tanah ulayat kaum justru belum digarap sama sekali.
Tanah ulayat adalah tanah yang menurut hukum adat dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat.
Status kepemilikan bersama ini lantas memperbolehkan masyarakat adat untuk manfaatkan dan mengambil segala sumber daya alam yang dimiliki tanah ulayat demi kelangsungan hidup bersama, bagi anak kemenakan.
Meski demikian, agar tidak terjadi perselisihan, maka pengelolaan tanah ulayat perlu dimediasi oleh kebijaksanaan ninik mamak, para kepala suku atau datuk.
Bahwa tanah ulayat meliputi tanah-tanah yang belum diusahakan oleh warga persekutuan dan menjadi milik nagari dengan batas-batas yang disesuaikan dengan situasi alam sekitarnya.
Persoalan tanah ulayat juga diatur dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No. 6 Tahun 2008 pada Pasal 1 poin 8; dan Pergub Provinsi Sumatra Barat Nomor 21 Tahun 2012 pada Pasal 1 poin 9.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa, “Tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang berada di atas dan di dalamnya, diperoleh secara turun-temurun, dan merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatra Barat.
Berdasarkan peraturan ini, maka tanah ulayat dapat dimengerti sebagai bagian dari tanah pusaka, sebab menyangkut segala kekayaan sumber daya alam, baik yang dikandung maupun yang berada di atasnya.
Sama halnya dengan harta pusaka tinggi, tanah ulayat juga tidak boleh diperjualbelikan.
Jika terpaksa, maka tanah ulayat hanya boleh digadaikan, itu pun dalam situasi dan kondisi yang mendesak.
Orang Minang bilang, “Gadih gadang alun balaki; Rumah gadang katirisan; Pambangkik batang tarandam; dan Mayik tabujua di tangah rumah.”
Begitu besar keinginan nenek moyang dalam mempertahankan harta pusaka tinggi, tanah ulayat, agar dapat terus dikelola dan dimanfaatkan oleh setiap generasi secara turun-temurun.
Lantas bagaimana menjaga eksistensi tanah ulayat dalam kondisi sosial masyarakat saat ini. Bagaimana tanah ulayat yang belum tergarap dapat berperan dalam pembangunan Sumatra Barat.
Setidaknya, berbekal informasi singkat tentang tanah ulayat di atas, tanah ulayat seyogianya dapat dikelola, dikembangkan, dan diinvestasikan bersama, dengan catatan tetap mempertahankan nilai luhur yang melekat pada tanah ulayat. (LAG76).
Sumber: DPP-PPNT JAKARTA