jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Gugatan rekonvensi diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat.
Rekonvensi merupakan upaya tergugat untuk menggugat balik penggugat dalam suatu perkara yang sama.
Tuntutan balik ini dimungkinan untuk hukum perdata, gugatan rekonvensi dalam hukum perdata dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat.
Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga dapat menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.
Gugatan rekonvensi dalam Pasal 132 huruf a didefinisikan sebagai gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat.
Syarat materiil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi.
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, ketentuan Pasal 132 huruf a hanya berisi penegasan, yaitu:
1. Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi
2.Tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial
Sebelum melakukan gugatan balik atau tuntutan balik, perlu pembuktian kepada penyidik pada proses masa penyidikan dan penahanan terbagi ke dalam tiga bagian. Penahanan pertama selama 20 hari, penahanan kedua 40 hari dan yang berwenang memperpanjang adala penyidik surat penahanan yang dikeluarkan oleh kejaksaan, lalu penahanan ketiga adalah 30 hari yang berwenang menahan adalah penyidik dengan surat penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan balik kerap dilakukan saat tergugat merasa di fitnah, adapun syarat tuduhan dapat dikatakan sebagai fitnah yaitu perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berbunyi, barang siapa melakukan kejahatan atau menista dengan tulisan dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhannya itu dilakukan sedang diketahuinya tidak benar, dihukum selama-lamanya 4 tahun.
Akan tetapi unsur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP harus merujuk pada Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi, barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud akan tersiarnya tuduhan itu dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak Rp4.500.
Apabila, dalam proses penyidikan penyidik tidak menemukan cukup bukti untuk menuntut tersangka, maka berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan.
Untuk menuntut balik pelaporan tanpa bukti lebih kuat, maka tergugat dapat menentukan tuntutan dan pasal yang sudah dilanggar oleh pelapor, opsi yang dapat dipilih, yaitu :
Pasal 220 KUHP, menjadi landasan hukum untuk menuntut balik laporan yang tidak berdasar, seseorang melaporkan suatu perbuatan pidana, padahal sebenarnya tidak.
Maka, ancaman hukuman maksimal yang di dapat adalah 16 bulan penjara.
Pasal 310 KUHP, pelapor yang sengaja merusak kehormatan tersangka dengan menuduh dan bermaksud menyiarkannya. Maka, tersangka bisa melakukan cara menuntut balik pelaporan tanpa bukti dengan maksimal 9 bulan pidana penjara.
Pasal 311 KUHP berisi pelapor yang menista tersangka dengan menuduh tapi tidak dapat membuktikannya, maka ia dapat dijatuhi hukuman maksimal empat tahun pidana penjara.
Pasal 317 KUHP, dapat dijadikan landasan hukum untuk penuntutan balik dengan ancaman hukuman pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No 1 hingga 3.
Untuk melaporkan atau menuntut balik harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bukti dan menentukan landasan hukumnya ke kantor polisi, langkah ini harus dilakukan sebelum membawa sebuah kasus ke dalam pengadilan.(LAG76)
Penulis: Adv. Arthur Noija,SH
Gerai Hukum ART & Rekan