jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa, pada saat ini, istilah mafia hukum menjadi bahan pemberitaan pada media masa, baik cetak, elektronik, bahkan media internet.
Istilah ini sebenamya bukan merupakan hal yang baru dalam kehidupan dan
penegakan hukum di Indonesia.
Jauh sebelum masa reformasi, istilah ini
sempat mencuat meskipun sebatas pada istilah mafia peradilan, di mana
pada akhirnya tidak banyak kebijakan pemerintah yang dapat menunjang
pemberantasan mafia peradilan dalam dunia hukum di Indonesia.
Dalam catatan sejarah hukum di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru hingga orde reformasi hingga kini, hampir setiap saat kita disuguhi dengan berbagai cerita atau berita mengenai praktik peradilan yang tidak memuaskan ”mafia peradilan” dan proses penegakan hukum yang melibatkan penegak hukum menjadi penghambatnya, dan beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan adanya kasus korupsi yang pada akhimya mencuatkan istilah mafia hukum.
Secara istilah, mafia hukum dipergunakan dalam konteks terjadinya perbuatan yang mempengaruhi proses penegakan hukum, baik yang melibatkan pihak yang bersangkutan dan pihak penegak hukum. Istilah ini secara spesifik menunjukkan letak masalah penegakkan hukum
pada sisi aparat atau penegak hukum itu sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa hambatan besar penegakkan hukum pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukan pada hukum itu sendiri, tetapi pada kualitas manusia yang menjalankan hukum itu sendiri (Indranugraha & Artha, n.d.).
Penggunaan istilah mafia hukum dalam tataran pengambil kebijakan (pemerintah) dipertegas dengan pembentukan “Satuan Tugas(Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum”.
Satgas PMH adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP).
Satgas PMH bertugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum dapat berjalan efektif.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tanggal 30 Desember 2009. Namun demikian. sejak 30 Desember 2011, keputusan presiden tentang pembentukan lembaga ad hoc itu berakhir.
Terlepas dari batasan baku mengenai “mafia hukum” yang hingga saat ini masih beraneka ragam, namun keberadaan mafia hukum ternyata sampai saat ini berpengaruh terhadap keberlangsungan dan penegakan hukum.
Keberlangsung dimaksud, terpotret dari kebijakan yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan,saat itu Mahfud MD, yang membentuk Tim Percepatan Reformasi
Hukum pada 23 Mei 2023 melalui Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tabun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum.
Tim ini dibentuk karena berbagai persoalan hukum yang ditemukan di sektor peradilan dan penegakan hukum, begitu juga di sektor lain, seperti agraria, tata kelola sumber daya alam, pertanahan, korupsi, dan pembentukan perundang-undangan.
Secara konsepsional, menurut Soerjono Soekanto inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 2004).
Penegakan hukum sebagai suatu proses, menurut Soerjono Soekanto bahwa pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah-kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Soekanto, 2004).
Atas dasar uraian tersebut di atas, menurut Soerjono Soekanto, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara ”tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 2004).
Karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “law enforcemenf” begitu popular.
Selain dari itu, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup (Soekanto, 2004).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok dari pada penegakan hukum sebenamya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut (Soekanto, 2004) :
1. Faktor hukumnya sendiri. (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai basil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu menurut Jimly Asshiddiqy, ada tiga faktor penting yang menentukan tegak tidaknya hukum dalam praktek, yaitu:
a.Materi hukumnya memenuhi syarat untuk mendapat dukungan sosial (social
support) dan ditaati oleh para subjek hukum yang luas.
b.Aparatur penegak hukumnya bekerja fungsional dan efektif, baik sebagai teladan
maupun dalam upaya menegakkan hukum.
c. Para subjek hukum
menjadikan norma hukum yang bersangkutan sebagai pedoman perilaku
yang dengan sesungguh-sungguh berusaha ditaati (Asshiddiqie, 1998).
Mengenai syarat-syarat materi hukumnya dinyatakan bahwa, untuk
dapat diterima dan ditaati secara luas, noma hukum haruslah memenuhi
syarat-syarat yuridis yang sah (legal), syarat-syarat politik yang absah
(legitimate), dan syarat-syarat sosiologis yang kuat.
1.Legalitas suatu norma hukum secara yuridis mencakup tiga syarat, yaitu: (a) bahwa norma
hukum yang bersangkutan tidak bertentangan dengan norma yang lebih
tinggi, (b) norma hukum yang bersangkutan ditetapkan menurut prosedur yang sah untuk itu, dan (c) norma hukum yang bersangkutan ditetapkan oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.
2.Legitimasi norma hukum yang bersangkutan secara politik mencakup dua syarat, yaitu:
(a) bahwa norma hukum yang bersangkutan mendapat dukungan opini publik atau wacana dominan (dominant public discourse) dalam masyarakat.
Biasanya dukungan ini ditandai oleh dukungan yang tercermin dalam pemberitaan media massa, suara kalangan universitas, dan kalangan aktifis
organisasi non-pemerintah. (b) bahwa norma hukum yang bersangkutan mendapat dukungan mayoritas suara partai politik yang tercermin dalam suara mayoritas anggota parlemen.
3.Dukungan sosiologis
masyarakat luas terhadap norma hukum yang bersangkutan mencakup
tiga syarat berikut:
(a) bahwa norma hukum yang bersangkutan diketahui clan dimengerti oleh para subjek hukumnya.
(b) bahwa noma hukum yang bersangkutan diakui adanya dan daya ikatnya oleh para subjek hukum
yang bersangkutan.
(c) bahwa noma hukum itu diterima sebagai pedoman perilaku oleh para subjek hukumnya, karena memang sesuai dengan perasaan keadilan yang dianutnya.
Mengenai Syarat-syarat Aparatur Penegak Hukumnya dinyatakan bahwa: Meskipun materi hukumnya sudah memenuhi syarat, tetapi aparatur penegaknya tidak dapat diharapkan bekerja efektif, tetap tidak mudah bagi kita mengharapkan hukum dapat tegak sebagaimana mestinya.
haruslah dianggap sangat penting.
Ada dua aspek penting yang tercakup dalam perkataan aparatur, yaitu:
(a) institusinya.
(b) sumberdaya
manusianya atau aparat (actor).
Berfungsi efektifnya aparatur penegakan
hukum tergantung pada aparat dan derajat pelembagaan institusi aparatur penegakan hukum itu sendiri.
Dari segi institusinya, diperlukan adanya :
(a) Tata aturan organisasi dan tata laksana atau mekanisme kerja yang rasional dan sesuai prinsip-prinsip profesionalisme, baik yang bersifat internal,
antar lembaga sejenis maupun antara lembaga penegak hukum yang satu
dengan lembaga lainnya dalam kerangka sistem penegakan hukum
terpadu.
(b) Sistem informasi yang mendukung profesionalisme kerja, baik
yang bersifat internal, antar lembaga maupun antara lembaga penegak
hukum.
(c) Sarana dan prasarana penunjang yang memadai,
(d) dukungan dana yang mencukupi.
Sedangkan dari segi sumberdaya manusia atau aparatnya, diperlukan :
(a) Kualifikasi personil yang dapat diandalkan.
(b) Jumlah yang mencukupi sesuai kebutuhan.
(c) Tingkat kesejahteraannya
yang relatif terjamin dengan baik.
(d) Idealisme pemimpin di semua lapisan kepemimpinan berdasarkan sistem kepemimpinan yang dapat memberi teladan.
Karena itu, peranan aparatur penegak hukum betapapun jugaharuslah dianggap sangat penting.
Ada dua aspek penting yang tercakup dalam perkataan aparatur, yaitu:
(a) institusinya.
(b) sumberdaya manusianya atau aparat (actor).
Berfungsi efektifnya aparatur penegakan
hukum tergantung pada aparat dan derajat pelembagaan institusi aparatur penegakan hukum itu sendiri.
Dari segi institusinya, diperlukan adanya :(a) Tata aturan organisasi dan tata laksana atau mekanisme kerja yang rasional dan sesuai prinsip-prinsip profesionalisme, baik yang bersifat internal, antar lembaga sejenis maupun antara lembaga penegak hukum yang satu
dengan lembaga lainnya dalam kerangka sistem penegakan hukum terpadu.
(b) Sistem informasi yang mendukung profesionalisme kerja, baik
yang bersifat internal, antar lembaga maupun antara lembaga penegak
hukum.
(c) Sarana dan prasarana penunjang yang memadai,
(d) dukungan dana yang mencukupi.
Sedangkan dari segi sumberdaya manusia atau aparatnya, diperlukan :
(a) Kualifikasi personil yang dapat diandalkan.
(b) Jumlah yang mencukupi sesuai kebutuhan.
(c) Tingkat kesejahteraannya
yang relatif terjamin dengan baik.
(d) Idealisme pemimpin di semua lapisan kepemimpinan berdasarkan sistem kepemimpinan yang dapat memberi teladan.
Secara normatif, factor tersebut sangat
mempengaruhi efektif tidaknya fungsi aparatur penegakan hukum dalam mendorong bekerjanya sistem hukum secara keseluruhan.
Jika materi hukumnya telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dikemukakan di atas, dan aparatur penegakan hukumnya juga memenuhi syarat tersebut, lnsya Allah, kita dapat berharap bahwa cita-cita negara hukum dapat diwujudkan dalam kenyataan, dan tegaknya hukum dan keadilan menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Akibat yang mendorong terjadinya praktik mafia hukum dalam penegakan hukum
Berangkat dari konsepsi penegakan hukum dan tujuan dari adanya hukum dalam masyarakat, maka terdapat beberapa akibat yang mendorong terjadinya praktik mafia hukum dalam penegakan
hukum.
Rendahnya kualitas budaya hukum masyarakat yang berdasarkan kepastian dan keadilan.Berbicara mengenai upaya penegakan hukum, sama artinya dengan sebuah upaya untuk memahami hukum.
Kendati untuk memahami hukum secara benar, kita harus mempelajari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada maupun bagaiman upaya penegakan hukum itu sendiri di masyarakat.
Seringkali kita memahami hukum dengan hanya melihat bagaimana upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dengan hanya melihat kondisi hukum yang terjadi saat ini.
Sehingga selalu saja yang disalahkan adalah hukum itu sendiri atau aparat penegak hukumnya yang “tidak becus” menegakkan hukum. Pandangan ini muncul karena kita melihat dan memahami hukum hanya dari dua sisi tersebut, dan hal ini seringkali menjadikan kita cenderung apatis dan pesimis dengan hukum yang berlaku sekarang.
Salah satu unsur yang cukup penting dalam penegakan hukum adalah unsur manusianya sendiri, yaitu aspek kesadaran hukum.
Karena ketika kita berbicara unsur manusia dari aspek kesadaran hukum masyarakatnya, maka kita mencoba memahami dan menyoroti segi manusia individunya yang membentuk budaya hukumnya.
Disinilah kita harus bicara soal mental, akhlak, moral, etika, sebab semua itulah substansi dan·seorang individu manusia, “the moral of the man”.
Budaya hukum masyarakat yang tinggi, adalah masyarakat yang tidak cenderung melanggar hukum walaupun tidak ada aparat hukum yang melihatnya.
Ataupun masyarakat yang tidak memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan bagi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Apalagi masyarakat yang cenderung untuk menghindari atau menyalahgunakan hukum dengan sengaja untuk tujuan-tujuan
tertentu yang pada akhirnya bersifat tidak adil bagi masyarakat lainnya. Sehingga tegaknya hukum di tengah masyarakat memerlukan tegaknyakeadilan.
Melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat dapat berakibat rusaknya tatanan dan kestabilan bagi masyarakat keseluruhan karena rasa keadilan adalah unsur fitrah sejak lahir bagis seorang manusia.Disinilah faktor kesadaran hukum masyarakat itu sangat memegang peranan penting dalam upaya penegakan hukum itu.(LAG76).
Sumber: DPP PPNT JAKARTA