jurnalisnusantarasatu.id|Jakarta–
Apakah pengakuan utang merupakan perjanjian?
Apakah pengakuan utang dapat berdiri sendiri tanpa ada perjanjian pokok?
Bagaimana bila pinjam-meminjam antara perorangan dibuat akta pengakuan utang di hadapan notaris?
Apakah pengakuan utang dapat menjadi dasar gugatan di pengadilan atas terjadinya wanprestasi?
Berdasarkan prinsip konsensualisme, pengakuan utang tidak sama dengan perjanjian yang ditandatangani oleh dua pihak.
Pengakuan utang lebih tepat disebut sebagai turunan suatu perjanjian. Sebagaimana diuraikan Gatot Supramono dalam buku Perjanjian Utang Piutang (hal. 38), surat pengakuan utang hanya dibuat satu pihak saja.
Pihak yang dimaksud adalah pihak yang meminjam uang, yaitu debitur.
Sebagai produk turunan suatu perjanjian, pernyataan utang seharusnya tidak berdiri sendiri.
Harus ada peristiwa awal yang dapat bermula dari suatu perjanjian pokok, baik secara tertulis ataupun dari suatu kesepakatan lain yang didasarkan pada alat bukti tertulis (misalnya kuitansi penerimaan pembayaran/penyerahan barang).
Contohnya :
Dapat lihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 910K/Pdt/2012.
Dalam kasus tersebut, Penggugat dan Tergugat telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian utang piutang terlebih dahulu.
Penggugat berkedudukan sebagai kreditur, sedangkan Tergugat I selaku debitur dengan pinjaman uang pokok yang keseluruhannya berjumlah Rp90 juta.
Perjanjian tersebut diikuti dengan surat pernyataan pengakuan utang dan kuitansi tanda terima uang yang keseluruhan berjumlah Rp90 juta.
Dalam hal ini, Tergugat I mengakui adanya utang tersebut dan menyatakan kesanggupan membayar pada tanggal tertentu.
Dibuatnya perjanjian pinjam meminjam antar perorangan dengan surat pengakuan yang dibuat di hadapan notaris bukanlah sebuah masalah, bahkan sangat dianjurkan.
Menurut Gatot Supramono (hal. 43-44), surat pengakuan utang dibuat dalam bentuk akta autentik sebagai salah satu syaratnya.
Surat pengakuan utang berkepala “Atas Nama Undang-Undang”, yang setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kepala akta tersebut berubah menjadi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Dengan diberi irah-irah tersebut, dimaksudkan surat pengakuan utang mempunyai kekuatan eksekutorial atau dapat dieksekusi seperti halnya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Surat pengakuan utang dapat dibuat di bawah tangan tanpa adanya kekuatan “segera dieksekusi” yang dimaksud di atas.
Pengakuan utang dapat menjadi dasar gugatan di pengadilan atas terjadinya wanprestasi, mengingat bukti surat merupakan salah satu alat bukti yang diakui oleh Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”).
Untuk kekuatan pembuktiannya, harus dilihat terlebih dahulu apakah pengakuan utang tersebut berbentuk akta autentik atau akta di bawah tangan/non autentik.
Akta autentik merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut peraturan perundang-undangan oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu.
Pasal 165 HIR selengkapnya berbunyi :
Surat (Akte) yang syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu.
Kekuatan pembuktian akta autentik sempurna dan mengikat, baik secara formal dan materiel. Adapun bila pengakuan utang berupa akta di bawah tangan, sifat pembuktian yang sempurna bagi akta tersebut hanya muncul bila sudah diakui oleh para pihak.
Dasar Hukum :
a.Herzien Inlandsch Reglement.
Putusan:
b.Putusan Mahkamah Agung Nomor 910K/Pdt/2012.
Referensi :
c. Gatot Supramono. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: Kencana. 2013.
Sumber: Arhur Noija, SH Gerai Hukum ART & Rekan