jurnalisnisantarasatu.id|NTB– Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) modus janjikan proyek penimbunan Dermaga Pelindo di Lombok Barat naik penyidikan. Peningkatan status penanganan kasus ini berdasarkan surat perintah penyidikan nomor SP.Sidik/116.a/VII/RES.1.24/2024/Ditreskrimum, tertanggal 2 Juli lalu, yang dirilies salah satu media lokal NTB pada Kamis 11/7/2024 memunculkan kesan bahwa ini terkesan spekulasi dimana runutan peristiwa dari proses yang berjalan cukup lama, lalu ada vonis yang dipaksakan tanpa diberikan ruang untuk mangajukan banding hingga mengabaikan putusan perkara perdata yang seharusnya dijadikan referensi atau pertimbangan hakim dalam memberi rasa keadilan.
Pernyataan tersebut diungkapkan Mawardi,SH.,kepada awak media yang tergabung dalam Forum Pers Independen Indonesia (FPII) yang merupakan konstituen Dewan Pers Independen (DPI).
“Saya menilai Pak Dir yang baru beberapa waktu menjabat, belum memahami secara utuh proses seluk beluk awal bagaimana bergulirnya kasus ini, ada kesan terlalu tergesa-gesa menyimpulkan, tanpa mendalami terlebih dahulu.” tegas Ketua Setwil Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Provinsi Nusa Tenggara Barat saat diwawancara awak media pada Kamis, (18/7/2024).
Mawardi membeberkan sebagai bentuk pembelaan diri atas sikap arogansi tersebut, saya melaporkankan hal tersebut kepada Ketua Presidium Forum Pers Independen Indonesia (FPII) dan tentunya Ketua Presidium FPII Dra.Kasihhati akan menunjuk Penasehat Hukum FPIIvyang dianggap layak ,patut dan pantas dalam membedah kasus hingga saya mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.
Ditempat terpisah Ketua Presidium Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Dra.Kasihhati saat dikonfirmasi awak media menjelaskan Kami tidak tinggal diam bahkan kami telah melayangkan surat protes kepimpinan tertinggi jajaran Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri );untuk segera membentuk tim khusus yang akan mengkaji proses yang ditengarai bernilai tendensius.
Kita tunggu saja seperti apa langkah Mabes Polri yang akan mengambil kebijakan atas upaya yang dinilai telah melukai hati dari upaya lanjutan dari persoalan ini.” tegas Kasihhati.
Mawardi,SH.,menjelaskan kronologi peristiwa hukum yang dialaminya berawalnya usai menjalani masa hukuman kemudian muncul kembali laporan baru yakni tuduhan “tindak pidana pencucian uang” (TPPU) yang ditangani Reskrimum, kemudian dilimpahkan ke Reskrimsus lalu berproses selama satu tahun, dan kemudian berganti pimpinan, sekarang malah dikembalikan lagi ke Reskrimum, ini kasus kok seperti dipimpong sana pimpong sini.
“Saya sudah melakukan gugatan perdata dan yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 137/Pdt 5/20 IB/PN Mtr Tanggal, 6 Maret 2019 dimana Majlis Hakim menyatakan pihak yang memperkarakan saya ini justru dinilai “Wanprestasi”.” ujar Mawardi, SH.
Bahwa dalam objek dan perkara hukum yang sama, juga telah menjalani pidana berdasarkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor:627/Pid.B/2010/PN Mtr. Tanggal, 19 Desember 2019.
Tudingan atas tindakan pencucian uang juga sangat tidak mendasar, karena tidak memenuhi unsur dimana pada prinsipnya TPPU adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari BERBAGAI TINDAK PIDANA, SEPERTI: Korupsi, penyuapan, penyelundupan, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, tidak ada satupun unsur itu berkaitan dengan TPPU.
Konsekwensi hukum berdasarkan putusan pengadilan pun saya sudah jalani kendati proses banding yang terkesan dibuat tidak bisa berjalan sesuai hak saya selaku warga negara untuk menuntut keadilan karena adanya tekanan dan arahan sesat dalam menterjemahkan hak saya menuntut keadilan.
Putusan pengadilan tetap memvonis saya bersalah dan mengabaikan bukti yang saya ajukan berupa copy putusan perdata yang menyatakan bahwa pelapor wanprestasi sehingga saya tidak terbukti melakukan pelanggaran pidana.
Tidak cuma sampai disitu, upaya untuk menuntut hak saya mendapatkan keadilanpun dihalangi dengan berbagai dalih dan alasan sehingga saya sebagai warga negara yang berhak atas perlindungan hukum merasa mendapat perlakuan diskriminatif dan harus mendekam disel tahanan tanpa diberikan ruang pembelaan.
Kaitan dengan pemberitaan, Media yang memuat pemberitaan tersebut juga terlihat sangat tidak profesional dalam mengemas berita.
Terkesan menyampaikan berita pesanan dan bersifat sepihak terlebih lagi pencantuman nama tanpa menggunakan inisial jelas melanggar kode etik jurnalistik dan dinilai kurang menghargai hak hukum seseorang yang masih dalam proses yang belum tentu memenuhi unsur TPPU lantaran masih berproses dikepolisian.
“Dan saya sangat tersinggung dan masih berkonsultasi dengan sejumlah pakar hukum baik yang berkaitan dengan undang-undang pemberitaan maupun celah pelanggaran UU – ITE,tentu Penasehat Hukum kami akan mengambil langkah hukum sesuai aturan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ” pungkasnya.(Tim/Red).
Sumber: Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII).