jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan warga negara Indonesia yang memenuhi syarattertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah.
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut tidak dikenal lagi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999. Istilah Pegawai Negeri dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kepegawaian diganti dengan istilah Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Pegawai Aparatur Sipil Negara, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
PNS berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, dan perekat pemersatu bangsa, serta mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan
c. Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kegiatan rekrutmen atau pengadaan PNS diadakan guna mengisi kebutuhan Jabatan
Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah yang
kebutuhannya ditetapkan oleh Menteri.
Pengadaan PNS dilakukan melalui tahapan
perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi,masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS. PNS sebagai profesi berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas,kualifikasi akademik, jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas, dan profesionalitas jabatan.
Guna menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi peraturan disiplin PNS.
Setiap pelanggaran disiplin PNS dapat dijatuhi hukuman disiplin. Salah satu hukuman disiplin adalah pemberhentian tidak dengan hormat apabila dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum.
Pasal 52 KUHP menyatakan bahwa
bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan,kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran jabatan hanya dapat dilakukan oleh subyek hukum yang berkualitas pegawai negeri.
Definisi Kejahatan Jabatan.
Kejahatan jabatan adalah kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat
dalam masa pekerjaannya serta kejahatan yang termasuk dalam salah satu perbuatan
pidana yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP (Djoko Prakoso,
1992).
Wirjono Prodjodikiro berpendapat bahwa kejahatan jabatan merupakan
tindak pidana yang dilakukan oleh para pejabat yang memegang kekuasaan dan
harus dihukum pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2002).
Sedangkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kejahatan jabatan tertuang dalam :
1) Bab XXVIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kejahatan jabatan berdasarkan Bab XXVIII Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana adalah sebagai berikut:
a) Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang berwenang menurut Undang-Undang;
b) Seorang pejabat yang sengaja minta bantuan Angkatan Bersenjata untuk melawan pelaksanaan ketentuan undang-undang, perintah penguasa umum menurut undang-undang, putusan atau surat perintah pengadilan.
c) Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
d) Seorang pejabat atau orang lain yang diheri tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
e) Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat
atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu.
f) Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya.
g) Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
h) Seorang pejabat yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
i) Seorang hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
menjadi tugasnya.
j) Barangsiapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu;
k) Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu.
l) Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan.
m) Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya,
memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
n) Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya,
menggunakan tanah negara di atas mana ada hak hak pakai Indonesia.
o) Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang kepadanya, kepada
pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak
demikian adanya.
p) Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah merupakan
hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian halnya.
q) Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, seolah-olah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan telah menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai Indonesia dengan merugikan yang berhak padahal diketahuinya bahwa itu bertentangan dengan peraturan tersebut.
r) Seorang pejabat yang diberi tugas menjaga orang yang dirampas kemerdekaannya atas perintah penguasa umum atau atas putusan atau
ketetapan pengadilan, dengan sengaja membiarkan orang itu melarikan diri atau dengan sengaja melepaskannya, atau memberi pertolongan pada waktu dilepas atau melepaskan diri.
s) Seorang pejabat dengan tugas menyidik perbuatan pidana, yang sengaja tidak memenuhi permintaan untuk menyatakan bahwa ada orang dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum, atau yang sengaja tidak memberitahukan hal itu kepada kekuasaan yang lebih tinggi.
t) Seorang pejabat yang dalam menjalankan tugasnya mengetahui bahwa ada
orang dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum, sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan segera kepada pejabat yang bertugas
menyidik perbuatan pidana.
u) Seorang kepala lembaga pemasyarakatan tempat menutup orang terpidana,
orang tahanan sementara atau orang yang disandera, atau seorang kepala
lembaga pendidikan negara atau rumah sakit jiwa, yang menolak memenuhi permintaan menurut undang-undang supaya memperlihatkan orang yang dimasukkan di situ, atau supaya memperlihatkan register masuk, atau akta-akta yang menurut aturan-aturan umum harus ada untuk memasukkan orang di situ.
v) Seorang pejabat yang melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan umum, memaksa masuk kedalam rumah atau ruangan atau pekarangan terututup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada di situ secara melawan hukum, tidak segera pergi atas permintaan yang berhak atau atas nama orang itu.
w) seorang pejabat yang pada waktu menggeledah rumah, dengan melampaui
kekuasaannya atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam
peraturan umum, memeriksa atau merampas surat surat, buku-buku atau
kertas-kertas lain.
x) Seorang pejabat yang melampaui kekuasaannya, menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket yang diserahkan kepada lembaga pengangkutan umum atau kabar
kawat yang dalam tangan pejabat telegrap untuk keperluan umum.
y) Seorang pejabat yang melampaui kekuasaannya, menyuruh seorang pejabat
telepon atau orang lain yang diberi tugas pekerjaan telepon untuk keperluan umum, memberi keterangan kepadanya tentang sesuatu percakapan yang dilakukan denggan perantaraan lembaga itu.
z) Barang siapa menurut hukum yang berlaku bagi masing- masing pihak mempunyai kewenangan melangsungkan perkawinan seseorang, padahal
diketahuinya bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan orang itu yang telah ada menjadi halangan untuk ltu berdasarkan undang-undang.
Barang siapa menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak mempunyai kewenangan melangsungkan perkawinan seseorang, padahal diketahuinya ada halangan untuk itu berdasarkan undang-undang.
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejahatan jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Sanksi Bagi PNS Yang Melakukan Kejahatan Jabatan PNS diberhentikan sementara apabila ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana dimana pemberhentian sementara berlaku pada akhir bulan sejak PNS ditahan, hingga dibebaskannya tersangka dengan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan oleh pejabat yang berwenang atau ditetapkannya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada saat itu PNS tersebut tidak diberikan penghasilan, melainkan uang pemberhentian sementara sebesar 50% dari penghasilan jabatan terakhir sebagai PNS sebelum diberhentikan sementara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila PNS dimaksud dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan melapor kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) paling lambat 1 bulan sejak putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sesuai dengan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen PNS, bahwa PNS yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum diberhentikan dengan tidak hormat.
Pemberhentian PNS ditetapkan terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat tidak mendapatkan jaminan pensiun dan hari tua, karena tidak termasuk dalam penerima jaminan pensiun yaitu :
1) PNS yang diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia.
2) PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah
berusia 45 tahun dan masa kerja paling sedikit 20 tahun.
3) PNS yang diberhentikan dengan hormat karena mencapai Batas Usia Pensiun
apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling sedikit 10 tahun.
4) PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau
kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini apabila telah berusia
paling sedikit 50 tahun dan masa kerja paling sedikit 10 tahun.
5) PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja
lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang
disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan tanpa mempertimbangkan usia dan masa kerja.
6) PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang tidak disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan apabila telah
memiliki masa kerja untuk pensiun paling singkat 4 tahun.
Selain hal tersebut, terdapat sanksi lain berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c PP
Nomor 11 Tahun 2017, yaitu yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi PNS, termasuk sebagai pejabat Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dari kalangan non-PNS.
Kejahatan jabatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat dalam masa pekerjaannya serta kejahatan yang termasuk dalam salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sanksi kepegawaian terhadap PNS yang melakukan kejahatan jabatan adalah
pemberhentian sementara pada saat yang bersangkutan dilakukan penahanan karena
menjadi tersangka kejahatan jabatan, serta pemberhentian tidak dengan hormat pada saat yang bersangkutan dinyatakan terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
Saat pemberhentian sementara berlaku, yang bersangkutan tidak memperoleh penghasilan, melainkan hanya uang pemberhentian sementara sebesar 50% dari penghasilan jabatan terakhir.
Sedangkan saat pemberhentian
tidak dengan hormat berlaku, yang bersangkutan tidak lagi berhak memperoleh hak-hak sebagaimana layaknya PNS, seperti penghasilan, jaminan pensiun dan hari tua, dan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk kembali menjadi PNS, termasuk pejabat JPT dari kalangan Non-PNS.
Sebelum sanksi kepegawaian dijatuhkan terhadap PNS yang melakukan kejahatan jabatan, terdapat prosedur yang harus dilakukan, yaitu pemanggilan PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin, pemeriksaan oleh atasan langsung atau Tim
Pemeriksa, penjatuhan hukuman disiplin, dan penyampaian keputusan penjatuhan hukuman disiplin.
Terhadap sanksi kepegawaian terhadap PNS yang melakukan kejahatan jabatan, terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan, yaitu banding administratif dengan syarat bahwa hukuman disipilin dijatuhkan oleh selain Presiden.
Upaya hukum tersebut diajukan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.(tim/red)
Sumber: DPP- Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal ( PPNT) Jakarta