jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Obstruction of justice adalah tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, memengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk menghalangi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya.
“Obstruction of justice dianggap sebagai bentuk menghalang-halangi penegakan hukum dalam penyidikan.” kata Ketua Umum Peduli Nusantara Tunggal Jakarta Arthur Noija, SH saat diwawancara awak media pada Sabtu, (4/11/2023) di Coffeeshop Matra House Jakarta Pusat.
Pengertian obstruction of justice
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court menjelaskan, obstruction of justice merupakan tindakan yang ditunjukan maupun mempunyai efek memutar balikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.
Arthur Noija memaparkan obstruction of justice dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum. Oleh karenanya, obstruction of justice dikategorikan sebagai salah satu jenis perbuatan pidana contempt of court atau penghinaan pada pengadilan.
“Di Indonesia, tindakan obstruction of justice telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” jelas orang nomor satu di DPP-Peduli Nusantara Tunggal Jakarta.
Dalam Pasal 221 KUHP, disebutkan pengertian obstruction of justice adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum.
Obstruction of justice dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melemahkan pembuktian agar tidak terjerat putusan tertentu.
Secara normatif, tindakan ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam KUHP dan hukum pidana khusus.
“Seseorang yang terbukti dan tetap melakukan obstruction of justice akan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan denda paling maksimal Rp5 juta.” jelas Arthur.
Kedudukan obstrution of justice
Secara formil obstruction of justice merupakan perbuatan terlarang yang mengandung sanksi pidana di dalamnya.
Tindakan ini biasanya dilakukan saat proses peradilan yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan persidangan.
Dasar hukum obstruction of justice dijelaskan dalam Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan, setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
“Delik obstruction of justice merupakan hal yang serius dan hanya bisa diakui bila seseorang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu putusan pidana.”ungkap Arhur.
Unsur obstrution of justice
Ada tiga unsur perbuatan yang dijatuhi hukuman pidana obstruction of justice, yaitu:
1.Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings)
2.Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings)
3.Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Di beberapa peradilan di Amerika, ditambahkan satu syarat untuk menjatuhi hukuman obstruction of justice, yaitu pelaku harus dapat dibuktikan memiliki motif, seperti motif ingin bebas dari tuntutan, motif ingin pengurangan masa tahanan, dan lain-lain.
“Tanpa adanya maksud, seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan Pasal 221 KUHP.”ujar Arthur.
” Satu contoh jika seseorang menolong orang lain melarikan diri tapi tidak mengetahui bahwa orang yang ia tolong telah melakukan suatu tindak pidana, si penolong tidak dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan Pasal 221 KUHP.” pungkas Arthur Noija, SH. (Tim/Red)
Sumber: DPP-Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal Jakarta