jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Dewan Pimpinan Pusat PPNT berpendapat bahwa, Pertumbuhan penduduk khususnya di Indonesia setiap tahun selalu mengalami peningkatan.
Adanya pertambahan jumlah penduduk ini terkait dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada, termasuk di dalamnya adalah tanah.
Salah satu cara untuk memiliki tanah adalah melalui lembaga jual beli. Ada kalanya para pihak ingin melakukan transaksi jual beli tapi belum dapat memenuhi ketentuan yang ada pada
Hukum Tanah, maka pada praktiknya dapat dilakukan suatu perjanjian pendahuluan
bernama Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Fungsi utama PPJB adalah sebagai perjanjian pendahuluan bagi pihak yang ingin menghaki tanah, namun keberadaan perjanjian tersebut sering kali disalahgunakan untuk menutupi perbuatan hukum sebenarnya.
Contohnya adalah untuk menutupi perbuatan hukum perjanjian pinjam meminjam disertai jaminan benda tidak bergerak.
Hal tersebut ditandai dengan adanya pencantuman klausul Hak Membeli
Kembali pada perjanjian tersebut.
Seharusnya di dalam PPJB tidak boleh memuat klausul Hak Membeli Kembali karena dapat mengakibatkan penyelundupan hukum atas kepemilikan tanah dengan cara yang tidak seharusnya yang mengarah kepada rasa ketidakadilan bagi pihak penjual.
PPJB merupakan perjanjian pendahuluan yang bersifat bantuan karena keberadaannya membantu untuk melaksanakan perbuatan hukum yang sebenarnya yaitu Jual Beli Tanah.
Peristiwa Jual Beli Tanah tersebut ditandai dengan ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Mengenai Hak Membeli Kembali diatur pada Pasal 1519 sampai dengan Pasal
1532 KUHPerdata yaitu hak yang dimiliki oleh penjual untuk membeli kembali barang yang telah dijualnya dengan cara membayar kembali atau mengembalikan uang harga pembelian asal ditambah pembayaran ganti rugi yang ditimbulkan.
Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Hak Membeli Kembali timbul ketika sudah
terjadi peristiwa Jual beli, sedangkan dalam PPJB belum terjadi peristiwa tersebut.
Sampai dengan saat ini pencantuman klausul Hak Membeli Kembali pada PPJB masih dapat ditemukan, terutama pada PPJB yang berbentuk Akta Notaris.
Perjanjian yang mencantumkan klausul Hak Membeli Kembali tersebut terjadi
karena sebelumnya ada perbuatan hukum utang-piutang yang dilakukan Para Pihak.
Pihak yang Berutang (Debitur) kemudian menjadi pihak yang berjanji untuk menjualkan tanah dan/atau bangunan miliknya, sementara Pihak yang Berpiutang (Kreditur) menjadi pihak yang berjanji untuk membeli tanah dan/atau bangunan tersebut.
Adanya peristiwa utang-piutang tersebut secara terselubung membuat PPJB dengan Hak Membeli Kembali menjadi seperti perjanjian utang-piutang dengan jaminan, di mana ketika terjadi wanprestasi maka jaminan akan langsung dipindahkan haknya kepada Kreditur dengan membuat AJB.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa
peristiwa pembuatan PPJB dengan hak membeli kembali merupakan suatu upaya untuk menghindari peristiwa hukum sebenarnya atau yang disebut dengan Penyelundupan Hukum untuk memiliki tanah.
Analisis penggunaan Hak Membeli Kembali pada PPJB salah satunya dapat
dilihat dari keberadaan Asas Kebebasan Berkontrak.
Pada prinsipnya, asas tersebut
memperbolehkan Para Pihak menentukan klausul-klausul ataupun janji-janji apa yang
akan dicantumkan pada perjanjian, namun perlu diperhatikan bahwa penerapannya tidak berlaku mutlak sebab terdapat
pembatasan-pembatasan yang bertujuan untuk menghindari terciptanya ketidakadilan dalam berkontrak.
Salah satu pembatasan tersebut ada pada Pasal 1320 KUHPerdata terkait syarat sahnya perjanjian, khusunya yang terdapat pada angka 1 pada pasal tersebut, yaitu mengenai kesepakatan dari para
pihak pembuat perjanjian.
Pada PPJB dengan Hak Membeli Kembali terdapat kemungkinan pihak Penjual
(Debitur) memiliki kedudukan yang lebih lemah daripada Pembeli (Kreditur) sehingga berpotensi dilakukannya Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) oleh pihak yang lebih kuat agar membuat klausul yang dapat memberatkan pihak yang lebih lemah.
Mengenai Penyalahgunaan Keadaan ini sebenarnya tidak diatur dalam
KUHPerdata maupun hukum positif yang ada di Indonesia tetapi dapat ditemukan
dalam Yurisprudensi sebagai salah satu bentuk cacat kehendak.
Notaris sebagai pejabat umum merupakan pihak yang berwenang membuat akta
autentik baik dari yang diamanatkan undang-undang maupun dalam rangka
mengonstatir kehendak Para Penghadap, salah satunya adalah kewenangan dalam
pembuatan Akta PPJB.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut Notaris seharusnya dapat memperhatikan asas-asas yang terdapat pada perjanjian agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan para pihak secara hakiki serta meminimalisasi terjadinya sengketa hukum di kemudian hari. Permasalahan PPJB dengan Hak Membeli kembali pada kenyataannya menimbulkan sejumlah permasalahan dan cenderung menjadi suatu bentuk praktik rentenir yang disamarkan.
Cukup banyak sengketa terkait
pembuatan PPJB yang dibuat di hadapan Notaris, khususnya mengenai pencantuman
klausul Hak Membeli Kembali.
Salah satunya contoh kasus yang ada pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 539 PK/Pdt/2020.Putusan tersebut telah mendapatkan kekuatan hukum tetap yang sebelumnya telah diputus dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
364/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.
Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 337/PDT/2017/PT.DKI dan Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung
Nomor 472 K/Pdt/2018. Inti permasalahan yang terdapat pada kasus tersebut yaitu
menyangkut permintaan pembatalan Akta PPJB yang dibuat Penggugat dengan
Terguggat I pada tanggal 26 Juni 2015 dan permohonan agar Tergugat I dapat
mengembalikan nama kepemilikan dalam objek jual beli yaitu sebidang tanah dan
bangunan dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 2975/Grogol Utara dengan luas 425 m2 menjadi kembali milik Penggugat.
Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan bahwa Akta PPJB yang ditandatangani tersebut dibuat karena didasari adanya perjanjian utang-piutang antara Penggugat dan Tergugat senilai Rp 12.432.500.000,- dan disepakati akan dibayar senilai Rp 15.000.000.000,-.
Pada bagian isi yang ada pada Akta PPJB tersebut terdapat klausulyang menjelaskan bahwa para pihak sepakat agar Penggugat (selaku Pihak Pertama dalam Perjanjian) berhak membeli kembali tanah dan bangunan tersebut dai Tergugat I (selaku Pihak Kedua dalam Perjanjian).
Tenggang waktu yang diberikan oleh Tergugat I kepada Penggugat untuk membeli kembali objek tersebut adalah 6 (enam) bulan dari dibuatnya PPJB yang kemudian diperpanjang dua bulan, menjadi 8 (delapan) bulan.
Karena tidak dipenuhinya Hak Membeli Kembali oleh Penggugat, maka Tergugat I
menindaklanjuti Akta PPJB tersebut dengan membuat dan menandatangani AJB di hadapan PPAT di Jakarta Selatan pada tanggal 3 Februari 2016.
Akta AJB tersebutlah yang kemudian mendasari pemindahan hak atas tanah ke atas nama Tergugat I.
Setelah kepemilikan tanah dan bangunan tersebut menjadi atas nama Tergugat I, Penggugat merasa hal tersebut tidak adil baginya, oleh karenanya ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan harapan akan memperoleh kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut kembali. Namun kenyataannya
Penggugat harus tetap melepaskan
kepemilikannya tersebut dikarenakan putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan tingkat peninjauan kembali menyatakan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya yang berarti PPJB dengan Hak Membeli Kembali tersebut tetap dinyatakan sah dan mengikat serta pemindahan hak atas tanahnya pun menjadi sah dan tetap menjadi milik Tergugat I.
Oleh sebab itu, alasan mengapa Akta PPJB
dengan Hak Membeli Kembali dapat dikatakan sebagai penyelundupan hukum, serta analisis Putusan Peninjauan Kembali Nomor 539 PK/Pdt/2020 dikaitkan dengan sinkronisasi asas-asas yang ada pada Hukum Perjanjian dan Hukum Pertanahan.
Sumber: DPP-Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT).