Beranda » Dapatkah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan? 

Dapatkah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan? 

jurnalisnusantarasatu.id|JAKARTA–Saat ini kasus penipuan yang dialami sudah di laporkan di Kepolisian, dan sudah di BAP?.

Apakah bisa secara bersamaan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri terkait dengan kasus penipuan yang sama?

Sejauh ini tidak ada larangan atau ketentuan hukum yang mengharuskan suatu kasus penipuan mendapat putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terlebih dulu, baru kemudian dapat digugat secara perdata.

Penipuan tidak boleh sekedar dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Pembuktian mengenai adanya rangkaian kebohongan atau tipu muslihat tentunya akan lebih maksimal dalam pengadilan pidana, ketimbang pengadilan perdata.

Hal ini sejalan dengan salah satu asas pembuktian yang berbunyi “Siapa yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikannya” (affirmanti incumbit probate).

Tindak Pidana Penipuan

kami perlu menyampaikan soal ketentuan tindak pidana penipuan atau perbuatan curang (bedrog) yang dapat ditemukan dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sebagai berikut:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Sedangkan penipuan dalam konteks Hukum Perdata tidak didefinisikan dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), namun dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yang sesuai terjemahan Prof. R Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, halaman 340, berbunyi sebagai berikut:

Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 24) menjelaskan bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.

Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan  nomor mesinnya, dan sebagainya.

Subekti juga menambahkan bahwa menurut yurisprudensi, tidak cukup orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, melainkan harus ada rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.

Analisis

Menjawab pertanyaan pokok diatas soal apakah dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan bersamaan dengan laporan tindak pidana penipuan yang masih diproses di kepolisian, sejauh ini kami belum menemukan adanya larangan atau ketentuan hukum yang mengharuskan suatu penipuan mendapat putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terlebih dulu, baru kemudian dapat digugat secara perdata.
Namun demikian, mengacu pada ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penipuan tidak boleh sekedar dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.

Pembuktian mengenai adanya rangkaian kebohongan atau tipu muslihat tentunya akan lebih maksimal apabila diproses di pengadilan pidana, ketimbang pengadilan perdata.
Hal ini sejalan dengan salah satu asas pembuktian yang berbunyi “Siapa yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikannya” (affirmanti incumbit probate), sebagaimana diatur  dalam Pasal 1865 KUH Perdata.
Dengan demikian, apabila sudah ada putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atas penipuan yang kita alami tersebut, tentunya akan lebih memudahkan di dalam pembuktian gugatan perdata terhadap si pelaku atau setidak-tidaknya dapat meminimalisir gugatan perdata, dinyatakan terlalu dini untuk diajukan (premature), sehingga dapat mengakibatkan gugatan kita dinyatakan tidak dapat diterima (niet on vankelijk verklaard).

Dalam pengalaman praktik kami sebagai advokat, kami menemukan adanya pengecualian dari jawaban kami tersebut di atas, salah satunya adalah gugatan perdata dengan dasar wanprestasi (perbuatan ingkar janji) atas cek yang tidak ada dananya (cek kosong), yang sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong, yang langsung mengkualifikasikan penerbitan cek kosong sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUH Pidana.

Sebagai referensi tambahan, kami mengutip Putusan Mahkamah Agung RI No. 63 K/Pdt/1987 tanggal 15 Oktober 1988, dengan kaidah hukum sebagai berikut:

Dalam hal Tergugat membayar harga barang yang dibelinya dengan giro bilyet yang ternyata tidak ada dananya/kosong, dapat diartikan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan mempunyai hutang atau pinjaman kepada Penggugat sebesar harga barang tersebut dan tentang ganti rugi karena si pembeli terlambat membayar, maka ganti rugi tersebut adalah ganti rugi atas dasar bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu 6 % setahun.

Dasar hukum :

1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3.  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong.

Sumber: Adv.Arthur Noija, SH Gerai Hukum ART & Rekan

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *