jurnalisnusantarasatu.id|Jakarta–Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat ini sudah semakin maju peraturan- peraturan yang mengatur tentang pertanahan, tetapi pada kenyataannya masih ditemui masyarakat pedesaan atau bisa dikatakan masyarakat adat yang belum mengerti dengan peraturan-peraturan mengenai tanah yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
“Sedikitnya bukti kepemilikan atas tanah ini menjadi salah satu penyebab minimnya proses pendaftaran hak atas tanah.” kata Ketua Umum DPP-PPNT Arthur Noija, SH saat di wawancara awak media pada Sabtu, (23/9/2023) di bilangan Jakarta Pusat.
Lanjut Arthur memaparkan hal lain yang menjadi penyebab adalah minimnya pula pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Proses pembuatan Sertifikat itu mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki.
“Tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, surat kepemilikan tanah yang merekza miliki
sangat minim sekali bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali.” tegasnya.
“Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan.” imbuhnya.
Mengenai buku letter C, dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku letter C, karena di dalam literatur ataupun perundang- undangan mengenai pertanahan sangat jarang untuk dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak.
Keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti dan hati-hati sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul nantinya karena kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kekuatan kutipan buku letter C dalam memperoleh hak atas tanah prosedur perolehannya.
Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat.
Arthur menjelaskan secara gamblang mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Dalam Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah.
Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, yang Kutipan Letter C berada di Kelurahan/Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan.
Sertifikat tanah sebagai surat keterangan tanda bukti kepemilikan atas sebidang tanah atau pemegang hak atas sebidang tanah, serta yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan sah.
Dengan terbitnya sertifikat hak atas tanah sudah menerangkan bahwa seseorang mempunyai hak atas sebidang tanah tersebut.
Selain sebagai tanda kepemilikan yang sah, sertifikat tanah juga dapat dijadikan sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan sebidang tanah, bisa juga dibuktikan di depan pengadilan bahwa sertifikat tanah yang dipersengketakan tersebut adalah tidak benar atau tidak sah.
Sertifikat dan dokumen kepemilikan seperti akta jual beli, bukti pembayaran pajak tanah, Letter C merupakan hal yang sangat penting karena merupakan bukti yang sah atas kepemilikan tanah.
Tanpa memiliki sertifikat dan dokumen kepemilikan, penjual tanah akan menduduki posisi yang lemah di mata hukum. Setiap transaksi jual beli tanah pasti membutuhkan pembuatan akta jual beli.
Akta harus dibuat oleh PPAT karena PPAT adalah pejabat yang berhak membuat akta jual beli.
Akta jual beli merupakan salah satu syarat untuk pembuatan sertifikat kepemilikan aset properti.
“Meskipun demikian, masih banyak aset properti (tanah dan bangunan) yang belum memiliki sertifikat dan dokumen kepemilikan.
Hal tersebut merupakan suatu kondisi yang rawan karena dapat menimbulkan konflik.
Konflik tersebut dapat terjadi karena perebutan hak kepemilikan, penyerobotan,perusakan, hingga kecurangan dalam proses jual beli tanah.” ujarnya.
Buku letter C sebagai alat bukti kepemilikan tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, untuk memperoleh suatu hak atas tanah dalam melakukan pendaftaran atas tanah dimana tanah-tanah tersebut sebagai tanah-tanah yang tunduk terhadap hukum adat.
Hambatan yang ditemui dalam proses pendaftaran buku letter C dalam memperoleh hak atas tanah, bahwa dengan memiliki letter C itu perlu lebih teliti dalam proses tahapan tahapan prosedur pendaftarannya, karena obyek atas tanah yang menjadi bagian yang penting dalam pendaftaran tanah itu sering kali tidak sesuai antara luas, batas dan kadang tumpang tindih kepemilikannya.
Juga berkaitan dengan salah penunjukan atas kutipan letter C yang dipunyai dengan kenyatannya.
“Sehingga antara hak atas tanah yang dimiliki secara pribadi dengan hak yang dimiliki orang lain yang lokasi tanahnya berdekatan itu jelas.” pungkas Arthur. (Tim/Red)
Sumber: DPP- Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT)