jurnalisnusantarasatu.id|Jakarta-Kelompok kriminal yang merampas hak tanah pihak lain disebut dengan mafia tanah. Pelaku mafia tanah membuat tanah rakyat, swasta, atau bahkan milik negara diam -diam berpindah tangan tanpa disertai dokumen resmi, dan prosesnya melanggar hukum.
“Ironisnya, dalam praktek mafia tanah, banyak oknum pemerintah yang juga sering terlibat.” kata Ketua Umum Peduli Nusantara Tunggal Arthur Noija, S.H., saat diwawancara awak media pada Kamis, (21/9/2023) .
Modus Operandi Mafia Tanah
Mafia tanah merupakan kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang yang saling bekerja sama untuk memiliki ataupun menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah atau melanggar hukum.
Biasanya para pelaku menggunakan cara-cara yang terencana, rapi, dan sistematis.
Penguasaan tanah secara ilegal seringkali memicu terjadinya konflik atau sengketa yang acapkali menimbulkan korban nyawa manusia.
Arthur memaparkan ada berbagai modus para mafia tanah ini untuk mendapatkan lahan secara ilegal, seperti menggunakan surat hak-hak tanah yang dipalsukan, pemalsuan atau hilangnya warkah tanah, pemberian keterangan palsu, pemalsuan surat, jual beli fiktif, penipuan atau penggelapan, sewa menyewa, menggugat kepemilikan tanah, menguasai tanah dengan cara ilegal, KKN dengan aparat atau pejabat terkait, hingga merekayasa perkara di pengadilan.
“Modus terbanyak yang digunakan oleh mafia tanah adalah pemalsuan dokumen.”tegasnya.
Dimana ada masyarakat disitu ada hukum, ungkapan ini sudah tidak asing lagi ditelinga kita, khususnya para akademisi yang bergelut dibidang hukum, istilah tersebut dikenal dengan “Ubi Societas Ibi Ius”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita pahami bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, sebab hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu tempat yang tidak berpenduduk dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka jelas bahwa tidak ada hukum di wilayah tersebut.
Karena seseorang tadi bebas melakukan apapun yang ia kehendaki. Akan berbeda apabila ada dua orang atau lebih yang hidup ditempat tersebut dan hidup bersama, maka perlu hukum untuk menjaga kepentingan atau kehendak masing-masing.
Biasanya hukum diartikan oleh masyarakat sebagai sebuah alat pengatur yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan terdapat sanksi didalamnya sebagai pemaksa agar hukum dapat ditegakkan.
“Pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 BW, melainkan perbuatan hukum terhadap peralihan hak atas tanah.” imbuhnya.
Di dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan.
Beralih maksudnya terjadi bukan karena suatu perbuatan hukum (kesengajaan) melainkan karena peristiwa hukum (bukan kesengajaan), misalnya diwariskan, sedangkan dialihkan menunjukkan adanya kesengajaan sehingga terdapat suatu perbuatan hukum terhadap hak milik tersebut.
“Kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan terutama dalam lalu lintas hukum dan pemanfaatan tanah didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.” pungkas Arthur.
Sumber: DPP Peduli Nusantara Tunggal Jakarta